PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Cita-cita
luhur bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk
mewujudkan cita-cita luhur ini, maka dirumuskan Visi Indonesia Masa Depan,
yaitu Visi Indonesia 2020 yang rumusannya adalah “Terwujudnya masyarakat
Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju,
mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara.” Visi ini menjadi
pedoman dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.
Dalam
perwujudan tata pemerintahan yang baik (good
governance), pemerintah harus mampu menciptakan sistem administrasi publik
yang kooperatif dengan pendekatan pelayanan publik yang lebih relevan dengan
masyarakat. Kesemuanya sangat penting untuk diimplementasikan demi terciptanya good governance dan clean government atau pemerintahan yang bersih. Namun, dalam
kenyataannya saat ini, kegagalan penyelenggaraan pemerintahan terjadi dimana
terdapat gagalnya proses interaksi antara berbagai faktor dalam pemerintahan.
Tidak dapat dipungkiri, kegagalan pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan disebabkan oleh perilaku dan tindakan-tindakan aparatur pemerintah
sendiri yang cenderung sentralistik, top-down, self-oriented, monopolistik, represif,
dan kurang peka terhadap partisipasi masyarakat, tidak demokratis, serta penuh
korupsi, kolusi, dan nepotisme, terlebih di era otonomi daerah saat ini. Hal
ini mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan
mengarah ke bad governance.
Dalam konsep otonomi
daerah, pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan negara.
Terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
merupakan jawaban atas tuntutan dan desakan desentralisasi pemerintahan dari
pusat ke daerah. Sebagai daerah otonom, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota
mempunyai kewenangan dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan kepentingan
masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, menggerakkan partisipasi
masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Dengan demikian, otonomi daerah mengkonsepkan daerah mempunyai keleluasan untuk
mengatur dan mengelola wilayahnya sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah
dengan tetap memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi
masyarakat, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945 menentukan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat". Makna dalam frasa ”dikuasai oleh negara”
dimaknai sebagai bagian dari fungsi mengatur (regelendaad) dan fungsi
negara sebagai pengelola (beheersdaad) sebagai bagian dari tanggung
jawab negara. Pengurusan yang dimaksud adalah kewenangan negara
(pemerintah) untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning),
lisensi (licencie), dan konsesi (concessie).
Upaya
pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik dalam laju pertumbuhan ekonomi
dalam kerangka otonomi daerah ditempuh melalui profesionalisme pelayanan
publik, termasuk di dalamnya penataan di bidang perizinan. Secara umum, hambatan
perizinan di Indonesia, khususnya di daerah adalah belum adanya sistem
perizinan yang baku, banyaknya instansi yang mengeluarkan izin, tersebarnya
peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
diadakannya suatu izin hanya didasarkan semata-mata kepada tujuan pemasukan
bagi pendapatan pemerintah (terutama pada konsep otonomi daerah).
Beragam organ pemerintahan yang berwenang memberikan izin, dapat menyebabkan
tujuan dari kegiatan yang membutuhkan izin menjadi terhambat, bahkan tidak
mencapai sasaran. Sehingga pada konsep otonomi daerah, pemerintah daerah
memanfaatkan perizinan sebagai salah satu sumber untuk memperoleh pendapatan
asli daerah. Hal inilah yang mendorong terjadinya penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan publik, diwarnai beberapa masalah, diantaranya
kekuasaan pemerintah yang terlalu besar dan sentralistik, korupsi, kolusi, dan
nepotisme, terhambatnya saluran aspirasi, dan partisipasi masyarakat, dan
berbagai persoalan yang menunjukkan dominasi kekuasaan pemerintah. Untuk
mengatasi hal ini, maka perlu adanya perubahan secara menyeluruh terhadap tata
pemerintahan yang ada saat ini menuju tata pemerintahan yang transparan,
akuntabel, dan partisipatif.
II.
Permasalahan
Administrasi
Negara tidak dapat dilepaskan dari pengaruh birokrasi. Birokrasi dalam sistem
administrasi memiliki kelebihan dan kekuarangannya, terlebih di era otonomi
daerah saat ini. Pola desentralisasi yang terdapat pada era otonomi daerah
menghendaki adanya penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke
pemerintahan daerah. Dengan desentralisasi, diharapkan semakin kecilnya gap antara rakyat dengan pembuat
kebijakan, baik secara politik maupun geografis, sehingga diharapkan
kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup
rakyat.
Di
era otonomi daerah, daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan, termasuk di dalamnya mengelola sumber daya alam nasional
yang tersedia di wilayahnya. Berdasarkan Pasal 21 huruf (f) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, daerah berhak mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. Oleh karena
itu, dengan adanya otonomi daerah, daerah mendapatkan keuntungan dari hasil
eksploitasi terhadap suber daya ekstraktif lebih besar dari sebelumnya. Sumber
daya ekstraktif yang dimaksud di sini adalah sumber daya alam yang langsung
dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi dan gas bumi. Sehingga
menimbulkan padangan bahwa kekayaan alam dipandang sebagai sumber untuk
meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) setinggi-tingginya demi jalannya roda
pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Kekuasaan yang dimiliki oleh
penguasa mempengaruhi birokrasi pemerintahan. Birokrasi pada hakikatnya
berfungsi untuk melayani kepentingan publik. Birokrasi sebagai kepanjangan
tangan kekuasaan Negara dari pemerintah, seharusnya menjadi representasi dari
rakyat. Sehingga dalam melaksanakan tugasnya baik secara langsung maupun tidak
langsung mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya
pembangunan sistem administrasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif
terhadap rakyat.
Berdasarkan
pemaparan di atas, maka perlu untuk diketahui lebih jauh mengenai bagaimana
penyelenggaraan administrasi Negara dalam pengelolaan sumber daya ekstraktif
daerah serta bagaimana cara membangun sistem administrasi Negara di era otonomi
daerah yang akuntabel, transparan, dan partisipatif.
BAB II
PEMBAHASAN
Negara Republik
Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Ciri dari Negara hukum
adalah supremacy of the law atau
supremasi hukum. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan administrasi Negara
haruslah berdasarkan hukum yang berlaku atau asas legalitas. Menurut Prins dan
Scholten, Negara hukum bukan dilihat dari bentuk, tapi isinya. Hal ini berarti:
- bagaimana
kekuasaan dijalankan
- siapa yang
mengawasinya
sehingga yang harus diperhatikan oleh
Negara hukum adalah hukum administrasinya.
Istilah Administrasi
berasal dari bahasa Latin administrare
yang dalam bahasa Belanda diartikan sama dengan besturen.
Besturen dalam pengertian fungsional
berarti fungsi pemerintahan. Pemerintahan merupakan suatu fungsi dari
pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai pemerintah. Pengertian pemerintah
dalam arti luas adalah pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga,
dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan Negara. Sedangkan
pengertian Pemerintah dalam arti sempit, mencakup organisasi fungsi-fungsi yang
menjalankan tugas pemerintahan. Fungsi pemerintahan yang harus dilaksanakan
pemerintah untuk mencapai tujuan Negara adalah urusan pemerintahan. Urusan
pemerintahan adalah menciptakan/ melahirkan, mengubah, serta menghapuskan
hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat. Urusan pemerintah ini
sangat berhubungan dengan kegiatan public
service atau pelayanan publik. Dalam hubungan pemerintahan dengan warga
masyarakat, maka terdapat pola hak, kewajiban, memberikan sesuatu, memberikan
izin, serta hubungan hukum yang lahir dari suatu status yang diberikan suatu
tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
Paham
Negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Dalam kaitannya
dengan Negara hukum dan demokrasi, kedaulatan rakyat merupakan unsur material
Negara hukum, di samping masalah kesejahteraan rakyat. Sebagai Negara hukum
yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum, maka disetiap kegiatan, tidak
hanya berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai, melainkan mendasarkan
kepada hukum positif sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan. Pertumbuhan penduduk dalam suatu Negara menuntut pemerintahnya
mampu untuk menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hajat hidup rakyat.
Terlebih dalam konsep Negara welfare
state, terjadi pergeseran dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dari liberal rechstaat menjadi sociale rechstaat. Sehingga Negara
dituntut untuk berperan lebih jauh dan campur tangan terhadap aspek kehidupan
masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan. Oleh karena itu pemerintah harus
mampu menciptakan sistem administrasi publik yang koperatif dengan pendekatan
pelayanan publik yang lebih relevan dengan masyarakat dalam mewujudkan good governance.
UNDP
mendefinisikan Good governance
sebagai the execise of political,
economic, and administrative authority to manage the nation’s affair at all
level.
Karakteristik Good Governance menurut UNDP yaitu:
1.
Participation
Setiap
warga Negara memiliki hak untuk ikut andil dalam pembuatan keputusan pemerintah,
baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang
mewakili kepentingannya.
2.
Rule
of Law
Hukum
harus dilaksanakan secara adil dan ditegakkan tanpa pandang bulu, terutama
hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
3.
Transparency
Transparansi
atau keterbukaan arus informasi publik. Akses informasi tersebut dapat
digunakan sebagai monitoring dari masyarakat terhadap kebijakan yang diambil
oleh pemerintah.
4.
Responsiveness
Lembaga-lembaga
yang ada dalam suatu pemerintahan harus mau dan mampu untuk memberikan
pelayanan pada stakeholders. Stakeholders dapat sebagai pihak swasta
yang melakukan investasi proyek komersial yang membantu pemerintah di sektor
publik dan penyediaan pelayanan umum.
5.
Concensus
orientation
Good
Governance mejadi perantara dalam perbedaan kepentingan yang ada dengan
memberikan pilihan-pilihan terbaik bagi pembawa kepentingan.
6.
Equity
Setiap
warga Negara, tanpa membedakan ras, suku, dan gender memiliki hak dan
kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan yang baik serta meningkatkan
kesejahteraannya.
7.
Effectiveness
and efficiency
Proses-proses
dan lembaga-lembaga yang ada disesuaikan dengan sumber-sumber yang tersedia
8.
Accountability
Pembuat
keputusan, dalam hal ini pemerintah harus mempertanggungjawabkan kebijakannya
kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders.
9.
Strategic
vision
Pemerintah
dan masyarakat harus memiliki perspektif Good Governance dan pengembangan
manusia yang uas dan jauh ke depan sesuai dengan apa yang diperlukan dalam
pembangunan.
Karakteristik
Good Governance menurut World Bank
(1993), yaitu masyarakat sipil yang kuat, partisipatoris, terbuka, pembuatan
kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggungjawab, birokrasi
yang professional, dan aturan hukum. Bappenas (2003) menyatakan prinsip-prinsip
paling utama Good Governance yaitu
akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Menurut
Institute on Governance (1996),
sebagaimana dikutip Nisjar (1997), untuk menciptakan good governance, maka perlu diciptakan hal-hal sebagai berikut:
- Kerangka
kerja tim (team work) antar
organisasi, departemen, dan wilayah.
- Hubungan
kemiteraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat Negara
yang bersangkutan
- Pemahaman
dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggungjawab bersama
dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian
tujuan
- Adanya
dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya
kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara
realistis dapat dikembangkan
- Adanya
pelayanan administrasi publik yang berorientasi pada masyarakat, mudah
dijangkau masyarakat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan
dan keadilan dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap professional,
dan tidak memihak (non-partisan).
1.
Penyelenggaraan
administrasi Negara dalam pengelolaan sumber daya ekstraktif daerah
Pola
otonomi daerah yang digunakan di Indonesia saat ini membawa dampak terhadap
kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan. Dalam pola desentralisasi memberi kewenangan pada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya.
Dengan kewenangan ini, bupati memiliki kewenangan melalui peraturan daerah
(perda) meregulasikan peraturan yang berdampak pada bertambahnya Pendapatan
Daerah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan
Lain-lain Pendapatan.
Dana
Perimbangan salah satunya diperoleh dari dana bagi hasil sumber daya alam.
Sehingga, apabila daerah ingin meningkatkan pendapatan daerahnya, dapat
memanfaatkan sumber daya alam, khususnya mineral, batubara, minyak dan gas bumi
sebagai sumber daya ekstraktif. Terlebih sifat pengusahaan industri ekstraktif
bersifat tertutup, baik dalam hal kontrak, dokumen, izin, maupun besaran
pembagain pembayaran dari pengusaha terhadap pemerintah. Bukan rahasia umum
bahwa banyak ijin pertambangan di kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah
pusat, tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah berapa ijin pertambangan
yang sudah dikeluarkan dan wilayah usaha pertambangan yang sudah ditetapkan.
Belum lagi berapa pendapatan daerah dan pusat yang diperoleh dari SDA
ekstraktif ini. Ini masalah kronis di negeri ini, aturan jelas, pengawas sudah
jelas namun dalam pelaksanaanya tidak jelas. Jika ada bencana ekologi akibat
eksploitasi tambang yang melampau batas semua mengelak dari tanggungjawab.
Implikasi dari hal ini, seluruh rantai pengelolaan sumber daya ini mulai dari
pemberian izin hingga pengelolaan dan pembagian keuntungan kepada pemerintah menjadi
sangat rentan terhadap praktik-praktik korupsi.
Fenomena
globalisasi memberikan dampak pada Negara-negara di dunia yang semakin dapat
bebas dalam melakukan kerja sama dalam membangun ekonomi ke arah yang lebih
baik dan juga semakin mudahnya negara-negara memperoleh aliran modal dari
negara lain. Hal ini membawa dampak, bahan mentah menjadi satu hal penting
untuk menjalankan suatu roda perindustrian. Potensi di sektor pertambangan
serta perminyakan yang merupakan sumber daya ekstraktif Indonesia memang tidak
dapat dipandang sebelah mata. Kedua sekor ini telah memberi kontribusi yang
cukup signifikan dalam perekonomian Indonesia. Untuk pengelolaan dan
pengusahaan sektor ini, sekalipun pengusaha dan investor mengeluhkan iklim
investasi yang tidak kondusif, sektor ini tetap menarik minat para pengusaha
untuk tetap melakukan usaha di Indonesia. Buktinya, beragam perusahaan raksasa
tak lantas pergi dan meninggalkan ladang-ladang minyak di Indonesia. Namun,
pada kondisi saat ini tidak jarang dalam pengusahaan dan pemanfaatan sektor
pertambangan dan sektor migas, justru membawa konflik dalam masyarakat.
Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945 menentukan "
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat".
Moh. Hatta
pada seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 tahun 1977 menyatakan: dikuasai oleh
Negara tidak berarti Negara sendiri menjadi penguasa, usahawan, lebih tepat
bahwa kekuasaan Negara terdapat pada membuat peraturan guna memperlancar jalan
ekonomi, penyertaan modal, dan dalam bentuk perusahaan Negara untuk usaha-usaha
tertentu.
Lebih lanjut, Pasal 33 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang
menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Hak penguasaan Negara
diselenggarakan oleh Pemerintah. Karena penguasaan Negara dalam bentuk
pengusahaan bahan galian tidak semuanya harus dilakukan oleh Negara, maka
penguasaan Negara dalam lingkup pengusahaan dapat diserahkan atau dikuasakan
kepada badan hukum/ perseorangan untuk mengusahakannya dengan suatu Kuasa
Pertambangan (
mining authorization)
dan/atau melalui suatu perjanjian/ kontrak kerjasama.
Pemerintah, dalam statusnya sebagai pemegang Hak Penguasaan Negara dan pengatur
pengusahaan bahan galian sebagai sumber daya ekstraktif, sifatnya adalah
atributif.
Sehingga apabila didelegasikan atau dimandatkan kepada pihak swasta atau
kontraktor, maka kedudukan kontraktor di sini adalah sebagai subordinasi
terhadap pemerintah.
Kuasa
Pertambangan merupakan izin untuk melakukan usaha pertambangan yang seharusnya
menjadi tugas pemerintah. Kuasa Pertambangan mengandung unsur publik karena
diberikan atau ditetapkan oleh pemerintah dengan suatu keputusan (beschikking) dan bukan kuasa dengan
perjanjian biasa. Kuasa Pertambangan diberikan oleh pemerintah kepada badan
hukum/ perseorangan melalui suatu surat keputusan dalam bentuk izin (vergunning) baik berupa konsesi
maupun Kuasa Pertambangan.
Hakikat Kuasa Pertambangan adalah pemberian wewenang atau izin kepada seorang
atau badan hukum untuk melakukan usaha pertambangan. Izin merupakan instrumen
yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan
oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Yang
dimaksud dengan ketetapan yang bersifat konstitutif adalah ketetapan yang
menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya
tercantum dalam ketetapan itu.
Sebagai
otoritas pemberi izin, pemerintah sering kali mengedepankan aspek ekonomi
dibandingkan aspek sosial kemasyarakatan, terlebih di sektor pertambangan.
Akibat adanya otonomi daerah, kontrol pusat terhadap pengelolaan sumber daya
alam di daerah menjadi mengendur sehingga mendorong munculnya ribuan konsesi
tambang. Hal ini mengakibatkan banyak izin pertambangan di kabupaten/kota,
propinsi dan pemerintah pusat, tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah
berapa ijin pertambangan yang sudah dikeluarkan dan wilayah usaha pertambangan
yang sudah ditetapkan. Belum lagi menimbulkan masalah dalam pembagian
pendapatan daerah dan pusat yang diperoleh dari SDA ekstraktif ini. Dampaknya,
seluruh rantai pengelolaan sumber daya ini mulai dari pemberian izin hingga
pengelolaan dan pembagian keuntungan menjadi sangat rentan terhadap
praktik-praktik korupsi. Belum lagi masalah pemberian izin pengelolaan sumber
daya alam yang kerap kali merugikan masyarakat di berbagai aspek kehidupan,
diantaranya gap kondisi ekonomi
antara masyarakat daerah dengan pengusaha, rusaknya lingkungan hidup,
kemiskinan, kemerosotan ekonomi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan pemberian
izin dapat dilakukan dengan kongkalikong antara pejabat dan pengusaha. Dengan
melihat kondisi yang demikian ini, maka perlu dibangun sistem pertanggungjawaban
dalam administrasi Negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Sistem pertanggungjawaban perlu
dibentuk mengingat izin pemanfaatan sumber daya ekstraktif timbul karena
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang berwenang. Hoffe menjelaskan bahwa
pertanggungjawaban memuat nisbah bersegi tiga, yaitu (1) seseorang adalah
penyebab atau berwenang; (2) atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya;
(3) berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban.
Terkait dengan izin eksploitasi sumber daya ekstraktif, pihak yang berwenang
adalah pemerintah, perbuatan yang dilakukannya adalah mengeluarkan izin, dan
pihak yang dapat menuntut pertanggunggungjawaban adalah rakyat sebagai pemilik
sumber daya ekstraktif yang ada. Sehingga dalam hal ini, sistem
pertanggungjawaban dapat diterapkan. Untuk itu, diperlukan aturan dan lembaga
hukum yang berfungsi untuk mengatur hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya.
Selain
itu, yang perlu untuk diingat adalah bahwasannya aspek penting dalam otonomi
daerah adalah pemberdayaan masyarakat.
Hal ini akan membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan pemerintah daerah dalam
pengelolaan penggunaan sumber daya dan memberikan pelayanan yang baik kepada
masyarakat. Dalam Negara demokratis, partisipasi masyarakat dalam menentukan
kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum sangat diperlukan. Demokrasi
berarti bahwa seluruh warga Negara berhak berpartisipasi dalam setiap pembuatan
kebijakan dan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi mereka, baik secara
kolektif maupun individual.
Sehingga demokrasi tersebut merefleksikan adanya kebutuhan mendasar manusia
untuk mengekspresikan diri. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan suatu Negara demokratis.
Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan.Pertama, sesungguhnya rakyat sendirilah
yang paham akan kebutuhannya. Kedua,
bermula dari kenyataan bahwa pemerintah modern cenderung makin luas dan
kompleks, birokrasi tumbuh membengkak di luar kendali.
Blau
dan Meyer mengatakan bahwa birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang
untuk menangani tugas-tugas administratif dalam skala besar serta
mengkoordinasi pekerjaan orang banyak secara sistematis.
Dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan Negara, terlebih di Indonesia yang
memiliki wilayah yang luas serta penduduk yang sangat banyak jumlahnya, tentu
sangat memerlukan birokrasi untuk memperpanjang tangan kekuasaan di dalam
melayani kepentingan rakyatnya. Sehingga birokrasi di Negara berkembang seperti
Indonesia, dihadapkan dengan tuntutan adanya peningkatan efisiensi,
produktivitas, dan peningkatan akses masyarakat terhadap informasi yang ada
dalam birokrasi. Pelaksanaan pelayanan publik yang tidak transparan, tidak
akuntabel, dan tidak demokratis tidak dapat lepas dari pengaruh birokrasi yanga
ada saat ini. Alhasil, terjadi ketidakpercayaan
rakyat terhadap birokrasi pemerintahan saat ini. Hal ini lah yang mendorong lahirnya
lembaga-lembaga independen sebagai monitoring dan kontrol terhadap
tindakan-tindakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perwujudan
sistem pelayanan publik terhadap sumber daya ekstraktif di daerah yang
akuntabel, transparan, dan partisipatif dapat diupayakan dengan keikutsertaan
Indonesia dalam Extractive
Industry Transparency Initiative (EITI). EITI dapat
dipandang sebagai peluang untuk dapat dilaksanakannya transparansi
pendapatan negara dan
pendapatan
daerah yang diperoleh dari Industri Ekstraktif. EITI adalah
sebuah standar global untuk pelaporan penerimaan negara yang bersumber dari
industri ekstraktif, seperti migas, batubara, dan mineral. Konsep tersebut
lahir dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang
Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diterima dari
Industri Ekstraktif. Pelaksanaan transparansi tersebut
dilaksanakan dengan membentuk tim Transparansi Industri Ekstraktif yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dibentuknya
tim Transparansi Industri Ekstraktif dirasa merupakan langkah positif dari Pemerintah Indonesia,
terlebih dalam kondisi pemerintahan saat ini. Sehingga apabila Indonesia
menerapkan ini, maka akan terlihat jelas berapa pendapatan perusahaan dan
pemerintah yang diterima dari sektor ekstraktif. Dengan adanya Peppres ini,
aliran pendapatan negara dan daerah yang diterima dari setiap perusahaan hulu
migas dan pertambangan akan dibuka, direkonsialiasi oleh auditor independen,
lalu diumumkan kepada publik secara berkala setiap tahunnya. Adanya auditor
independen ini merupakan wujud adanya partisipasi rakyat dalam rangka
pengawasan, kontrol, dan monitoring terhadap pelaksanaan pemerintahan. Dengan
demikian maka diharapkan akan dapat menyelesaikan sejumlah masalah
pertambangan, antara lain masalah tunggakan pembayaran royalti batubara,
tunggakan pajak beberapa perusahaan tambang, keberatan pemerintah daerah atas
besaran dana bagi hasil, kecurigaan atas pungutan liar dan sogokan yang dilakukan
oknum aparat maupun karyawan perusahaan, dan berbagai persoalan lainnya.
2. Membangun
sistem administrasi Negara di era otonomi daerah yang akuntabel, transparan,
dan partisipatif
Hampir
semua bangsa di dunia menghendaki adanya otonomi, yang pada hakikatnya
merupakan hak untuk mengelola urusan daerahnya sendiri tanpa adanya intervensi
dari pihak manapun. Namun, otonomi dan demokrasi membuka pintu yang lebar untuk
terjadinya praktik korupsi. Hal ini bertolak belakang dengan ide dasar
demokrasi, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan publik dalam
evaluasi terhadap pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut.
Desentralisasi
yang ada dalam sistem otonomi diyakini oleh banyak sarjana sebagai sistem
pemerintahan yang lebih baik daripada sistem sentralisasi, sebagaimana
demokrasi lebih baik daripada tirani. Beberapa alasan diantaranya adalah:
- Dari
segi politik desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam
proses kebijakan, abik untuk kepentingan sendiri maupun untuk mendukung
politik dan kebijaksanaan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di
lapisan bawah. Sehingga dalam hal ini ada kesetaraan dan partisipasi
politik.
- Dari
segi manajemen pemerintahan desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas,
efisiensi, dan akuntabilitas publik, terutama dalam penyediaan pelayanan
publik.
- Dari
segi kultur, desentralisasi dimaksudkan untuk memperlihatkan kekhususan,
keistimewaan, atau kontekstualisasi seuatu daerah.
- Dari
segi pembangunan, desentralisasi dapat memperlancar proses formulasi dan
implementasi program pembangunan dalam rangka kesejahteraan warga.
- Dilihat
dari kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi dapat menggantikan
kelemahannya dalam pengawasan program-program
- Dilihat
dari segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan
persaingan antar daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakatnya
sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan inovasi dalam
meningkatkan kualitas pelayanannya kepada warga.
Guna
menghadirkan pemerintahan tidak korup, maka penyelenggaraan pemerintahan di
bidang pelayanan publik harus memperhatikan tata kelola pemerintahan yaitu yang
baik atau yang lebih dikenal dengan good
governance, khususnya terhadap prinsip akuntabilitas, transparansi, dan
partisipasi masyarakat.
Prinsip
akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat merupakan prinsip yang
saling terkai satu sama lain. Meriam Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas
sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada
mereka yang diberi mandat itu.
Akuntabilitas merupakan segala tindakan yang berwujud check and balances system serta tindakan yang berwujud
pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
lembaga pemerintah. Menurut Guys Peters, terdapat tiga tipe akuntabilitas,
yaitu
(1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, (3) akuntabilitas
kebijakan publik. Akuntabilitas keuangan merupakan prinsip yang menjamin bahwa
setiap penyelenggaraan keuangan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara
terbuka kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi keuangan
tersebut. Akuntabilitas administratif merupakan prinsip yang menjamin bahwa
setiap penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dipertanggungjawabkan secara
terbuka kepada pihak yang berkepentingan secara administratif. Sedangkan
akuntabilitas publik merupakan prinsip pertanggungjawaban secara terbuka kepada
pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan. Pada intinya, setiap
kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh institusi pemerintahan maupun aparat
yang ikut serta membuat suatu kebijakan harus memperhatikan nilai-nilai dan
norma-norma yang dimiliki oleh masyarakat dan stakeholders yang berkepentingan terhadap kebijakan yang
diambilnya.
Transparansi
merupakan prinsip yang menjamin adanya kebebasan setiap warga masyarakat untuk
memperoleh akses informasi publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan, baik mengenai proses, pelaksanaan, maupun pengawasan terhadap
kebijakan pemerintah. Namun, transparansi di sini juga harus memperhatikan
kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi
hak privasi individu. Dengan adanya transparansi ini, maka publik dapat
memperoleh informasi secara cukup, tepat, dan akurat. Hal ini merupakan suatu
bentuk pengawasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahnya. Pengawasan ini
penting mengingat tindakan tersebut merupakan sarana untuk menghubungkan target
dengan realisasi setiap program/ kegiatan/ proyek yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah.
Sehingga dengan adanya dengan adanya pengawasan dari masyarakat terhadap
kinerja pemerintah dalam penyelnggaraan pelayanan publik maka kecurangan dan
manipulasi yang menguntungkan beberapa kelompok saja dapat diminimalisasi.
Partisipasi
merupakan wujud bahwa seseorang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan di setiap penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat pemerintahan yang
demokratis, meningkatkan kualitas, dan efektivitas pelayanan publik. Dalam
penguatan partisipasi publik, hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah:
1.
Mengeluarkan informasi yang dapat
diakses oleh publik
2.
Menyelenggarakan proses konsultasi untuk
menggali dan mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders termasuk aktivitas
warga Negara dalam kegiatan publik
3.
Mendelegasikan otoritas tertentu kepada
pengguna jasa layanan publik seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan
bagi kegiatan masyarakat dan layanan publik.
Penciptaan
good governance tersebut tentu saja
tergantung juga pada para stakeholders yang terlibat di dalam governance itu, yaitu lembaga-lembaga
pemerintah, semi pemerintah, non pemerintah, dan swasta. Dalam hal lembaga
pemerintahan, perlu diupayakan terbentuknya relasi antar lembaga, yakni antara
DPR, birokrasi, polisi, jaksa, dan institusi pengawasan yang bersifat check and balances.
Kuat lemahnya birokrasi tentu
terkait dengan peranan kepemimpinan yang kuat dengan dukungan ekonomi yang
kuat.
Semakin kuat kepemimpinan semakin kuat juga birokrasi yang mendukung
kepemimpinan itu. Menurut Jefferson bahwa administrasi Negara memberi
kesempatan yang luas untuk adanya partisipasi, desentralisasi yang efektif, dan
pengurangan tekanan pada simplicity and
economic of administration action demi efisiensi. Sehingga menurut
pemikiran ini, birokrasi harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan
masyarakat harus berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, perlu adanya
penyederhanaan dan pengurangan efisiensi proses yang dipandang mengusung
kepentingan penguasa. Oleh karena itu, birokrasi yang mendahulukan kepentingan
umum, mempermudah urusan publik, dan memberikan kepuasan pada publik harus
segera dihadirkan agar tidak terjadi krisis kepercayaan publik terhadap
pemerintah. Reformasi administrasi dihadirkan untuk mengurangi
tingkat ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Menurut teori
meminimalkan peran yang diterapkan oleh Presiden Reagen di Amerika,
minimalisasi peran pemerintah dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
mengurangi ekspektasi masyarakat terhadap pemerintah, menjadikan tatanan publik
menjadi lebih ramping dan responsif, dan fokus pada beberapa tujuan dan menolak
pengaruh/ kekuasaan alamiah.
Oleh karena itu, pemerintahan yang efektif dan efisien harus segera dilakukan,
terlebih dalam konsep otonomi daerah yang diguanakan oleh Indonesia saat ini.
BAB III
PENUTUP
Izin merupakan instrumen yuridis dalam
bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah
untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Pemerintah sebagai otoritas
pemberi izin sering kali mengedepankan aspek ekonomi dibandingkan aspek sosial
kemasyarakatan, terlebih di sektor pertambangan. Pada konsep otonomi daerah,
pemerintah daerah memanfaatkan perizinan sebagai salah satu sumber untuk
memperoleh pendapatan asli daerah. Hal ini mengakibatkan banyak izin
pertambangan di kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah pusat, tidak ada
koordinasi antara pusat dan daerah berapa ijin pertambangan yang sudah
dikeluarkan dan wilayah usaha pertambangan yang sudah ditetapkan. Belum lagi
menimbulkan masalah dalam pembagian pendapatan daerah dan pusat yang diperoleh
dari SDA ekstraktif ini. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah mengupayakan adanya
monitoring dan kontrol dari masyarakat yang bersifat independen.
Perwujudan sistem pelayanan publik
terhadap sumber daya ekstraktif di daerah yang akuntabel, transparan, dan
partisipatif diupayakan dengan keikutsertaan Indonesia dalam Extractive Industry Transparency
Initiative (EITI).
Tindak lanjut dari itu adalah dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
26 Tahun 2010. Perpres ini menghendaki aliran pendapatan negara dan daerah yang
diterima dari setiap perusahaan hulu migas dan pertambangan dibuka,
direkonsialiasi oleh auditor independen, lalu diumumkan kepada publik secara
berkala setiap tahunnya Selain itu, diterapkan juga sistem pertanggungjawaban
terhadap pemerintah sebagai otoritas pemberi izin yang menyalahgunakan
kewenangannya.
Hampir semua bangsa di dunia menghendaki
adanya otonomi, yang pada hakikatnya merupakan hak untuk mengelola urusan
daerahnya sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Namun, otonomi
dan demokrasi membuka pintu yang lebar untuk terjadinya praktik korupsi. Negara
berkembang seperti Indonesia, dihadapkan dengan tuntutan adanya peningkatan
efisiensi, produktivitas, dan peningkatan akses masyarakat terhadap informasi
yang ada dalam birokrasi. Guna menghadirkan pemerintahan tidak korup, maka
penyelenggaraan pemerintahan di bidang pelayanan publik harus memperhatikan
tata kelola pemerintahan yaitu yang baik atau yang lebih dikenal dengan good governance. Agar mampu menghadirkan
tata pemerintahan yang baik, maka perlu dibangun sistem administrasi birokrasi
yang mengedepankan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
masyarakat.
Konsesi (concessie) pertambangan adalah izin atau
wewenang yang diberikan oleh pemerintah kepada badan hukum atau perorangan
untuk melakukan usaha pertambangan berdasarkan asas domaniak beginsel (domein/
milik Negara) dengan disertai kewenangan dapat melakukan perjanjian dengan
pihak lain yang bersifat campuran antara publik dan privat.