Selasa, 28 Agustus 2012

BUDAYA HUKUM


(Tugas Sosiologi Hukum)

Budaya hukum penegak hukum berbeda dengan budaya hukum masyarakat karena fungsi hukum saat ini bukan sekedar mengukuhkan nilai-nilai baru. Pertanyaan:
  1. Mengapa terjadi perkembangan tujuan hukum? Kaitkan dengan fungsi hukum!
  2. Jelaskan tentang cita hukum dan kegunaannya!
  3. Bagaimana komentar saudara tentang pembentukan hukum saat ini?
  4. Mengapa harus dilakukan pergeseran paradigma moral?
Jawaban:
  1. Hukum, dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang telah ada di masyarakat dan mempertahankan pola kebiasaan yang ada, melainkan juga sebagai sarana atau alat. Mochtar Kusumaatmaja beranggapan bahwa hukum seharusnya diperankan sebagai sarana (bukan alat) pembaharuan masyarakat atau law is a tool of social engineering untuk mencapai kemajuan peradaban masyarakat. Dalam kaitan law is a tool of social engineering, hukum ditempatkan sebagai sarana yang bersifat dinamis sehingga berisi perkembangan-perkembangan yang bersifat adaktif terhadap perkembangan masyarakat yang begitu cepat. Karena perubahan dan perkembangan masyarakat yang begitu cepat, maka tujuan dari perkembangan hukum juga mengalami perubahan. Dalam kaitannya hukum sebagai sarana atau alat maka hukum telah dikonsepsikan sebagai hukum modern. Hal ini dikarenakan hukum merupakan kebutuhan masyarakat sehingga hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tingkah laku kepada manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Hukum berfungsi sebagai solusi atas konflik kepentingan dan memberi arah dalam perkembangan masyarakat di masa mendatang. Menurut Parsons, fungsi utama sistim hukum berseifat integratif, artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Kompleksitas konflik yang ada pada masyarakat modern mengharuskan hukum berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat agar dapat mengatur pergaulan hidup diantara mereka sehingga menghadirkan kesejahteraan, kemakmuran, kesejahteraan, kerukunan serta keadilan dalam masyarakat.
  2.  Hukum tidak hanya berupa nilai-nilai yang sudah mapan, atau hanya dilihat sekedar sebagai tindakan mengeluarkan peraturan secara formal. Lebih dari itu, hukum merupakan patokan nilai yang memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis. Hukum merupakan suatu sistem yang satu dengan yang lain tidak boleh saling bertentangan. Menurut Kelsen, norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Oleh karena itu, hukum yang dibuat tidak boleh menimbulkan pertentangan satu sama lain, semua harus bermuara pada cita hukum yang telah disepakati. Hans Kelsen menyebut cita hukum sebagai Grundnorm atau Basic norm. Cita hukum harus dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan perundang-undangan. Cita hukum bangsa Indonesia adalah Pancasila. Cita hukum tersebut berupa gagasan, rasa, cipta, dan pikiran, sedangkan hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dan betujuan mengabdi pada nilai-nilai tersebut. Cita hukum merupakan konstruksi pikiran yang berupa keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan. Menurut Rudolf Stammler, cita hukum berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum maka hukum yang dihasilkan tidak akan bermakna. Oleh karena itu, cita hukum merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pembentukan maupun pelaksanaan hukum yang dihasilkan. Perwujudan cita hukum sangat tergantung pada kesadaran dan penghayatan para pembentuk peraturan perundang-undangan.
  3. Hukum yang berlaku saat ini atau yang biasa dikenal dengan hukum positif merupakan karya manusia sebagai cerminan kehendak dan sasaran yang hendak dicapai masyarakat. Proses pembentukan produk hukum yang demokratis melibatkan berbagai komponen sistem yang rumit dan beragam. Dalam artian, proses pembentukan peraturan peraturan harus melalui tahap sosio-politis secara final. Pemasukan tahapan “sosiologis” dan “politis” sebagai bagian dari penyusunan produk hukum yang demokratis dapat memberikan pemahaman bahwa proses pembentukan hukum memerlukan waktu yang lama dan bukan hanya sekedar proses yuridis. Proses pembentukan hukum dalam tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan-bahan di dalamnya. Dalam konteks ini, masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial. Suatu permasalahan akan menjadi permasalahan kebijaksanaan atau policy problems apabila dijadikan oleh masyarakat sebagai permasalahan. Bila permasalahan yang timbul dapat dimasukkan menjadi policy problems maka akan memasuki tahapan politis. Tahapan ini berusaha mengidentifikasi problem yang kemudian akan merumuskan lebih jauh. Pada tahapan ini akan ditentukan apakah idea tau gagasan perlu dilanjutkan atau diubah untuk selanjutnya memasuki tahapan yuridis yang lebih memfokuskan pada penyusunan dan pengorganisasian masalah dalam hukum. Individu maupun kelompok masyarakat sangat menentukan dalam proses identifikasi dam perumusan policy problems. Faktor lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan, geografi, dan sebagainya juga mempengaruhi input dalam sistem politik, yang terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Pada akhirnya, input tersebut akan menghasilkan output. Namun, hukum yang berlaku di masyarakat merupakan hasil reduksi besar-besaran terhadap beberapa kehendak masyarakat menjadi kehendak para pembentuk peraturan perundang-undangan. Akibatnya, hukum merupakan kehendak penguasa bukan murni kehendak rakyat. Orientasinya adalah pejabat merupakan otoritas yang menerapkan hukuman jika standar norma tidak ditaati. Menurut Thrasymacus, keadilan tampak dari mereka yang kuat yang membuat hukum, hukum ini hanya untuk melayani kepentingan mereka dan keadilan hanya sebuah nama yang digunakan sebagimana hukum perintahkan pada kita. Oleh karena itu, saat ini banyak peraturan perundang-undangan yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat dan tidak mencerminkan keadilan. Salah satu contoh adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang terlalu liberal dan tidak memperhatikan kepentingan dan keadilan dalam masyarakat. Faktanya, keberadaan Undang-Undang Migas tersebut tidak melindungi dan mendukung upaya Negara untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan minyak dan gas bumi, melainkan memberikan sebesar-besarnya peluang dan kesempatan pada swasta maupun kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi akan minyak dan gas bumi
  4. Dalam kehidupan hukum Indonesia terjadi pergeseran terhadap paradigma hukum, yaitu dari Paradigma Moral yang bersifat egalitarian, menjadi Paradigma Kekuasaan. Mendominasinya paradigma kekuasaan mengakibatkan hukum tidak mampu memainkan peran sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan. Paradigma yang ada di suatu jaman dipengaruhi oleh rezim yang ada pada saat itu. Adanya paradigma kekuasaan yang begitu kuat di Indonesia, tidak lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Pada era awal orde baru, terjadi penciptaan lembaga eksekutif yang sangat kuat. Hal ini menyebabkan struktur politik di Indonesia ditentukan oleh kemauan politik presiden. Dengan kekuasaan demikian, rakyat dipaksa menerima tanpa diberi hak untuk bersuara. Pada masa presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar itu menjadikan hukum sebagai perwujudan dari keinginan dan kemauan penguasa demi kepentingannya. Pada akhirnya hukum bersifat represif yang menghendaki kepatuhan yang mutlak bagi warga Negara dan melarang adanya kritik dari warga Negara. Kekuasaan pemerintah yang sangat besar menumbuhkan kekuasaan yang luar biasa hingga menyebabkan hukum kehilangan otonomi, otoritas, dan profesionalisme dalam keberlakuannya. Pasca Soeharto, kekuasaan beralih ke tangan Habibie. Dengan Kabinet reformasi pembangunannya mencoba merespon  tuntutan dan aspirasi rakyat. Namun, karena rezim orde lama telah melekat di setiap lembaga pemerintahan, mengakibatkan perubahan tidak dapat dilakukan dengan cepat, begitu pula dalam pembentukan perundang-undangan. Hal ini mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah makin lemah. Setelah era Habibie, pemerintahan beralih ke Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai Presiden dan Megawai sebagai Wakil Presiden. Pada era ini lebih mengarahkan pada perubahan paradigma melanjutkan pembentukan perundang-undangan disertai penegakan hukum secara konsisten dengan memperhatikan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Kemudian Gus Dur lengser dan digantikan oleh Megawati sebagai Presiden dan Hamzah Has sebagai Wakil Presiden. Namun, pada akhirnya penataan dan penegakan hukum belum berpihak pada rakyat. Hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan menjadikan hukum yang tidak demokratis melainkan otoriter. Hal ini menimbulkan pendekatan yang tidak memihak pada rakyat dan menjadikan hukum hanya sebagai alat justifikasi terhadap tindakan penguasa dan penjaga stabilitas. Ciri hukum yang otoriter:
1.            Kaidah dasar totaliter
2.            Kaidah dasar di atas konstitusi
3.            Hukum yang membudak
4.            Birokrasi Totalitarian
5.            Trias Politika pro-forma
6.            Kepatuhan terpaksa
7.            Tipe rekayasa merusak 
Di era globalisasi saat ini, hukum diharuskan untuk tidak hanya memperhatikan karakteristik lokal melainkan juga perubahan pada tingkat global. Agar mampu melaksanakan perannya, maka hukum harus rasional (hukum harus mampu mewujudkan tujuannya di masyarakat), didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaannya, dan harus berkaitan erat dengan pengaruh struktur sosial masyarakat agar tujuan dari hukum dapat dilaksanakan. Reformasi terhadap hukum dilakukan dengan merubah perangkat nilai dan berlanjut pada tataran substansi, struktur, prosedur, dan kultur hukumnya. 
Memasuki era globalisasi saat ini, pembentukan hukum nasional diharapkan mampu menghadapi tekanan-tekanan globalisasi yang pengaruhnya telah merambah keseluruh ranah kehidupan. Globalisasi merupakan proses kebudayaan, di mana ada kecenderungan wilayah di dunia menjadi satu dalam format sosial-politik-ekonomi. Dampak negatif dari globalisasi mengakibatkan runtuhnya norma-norma lokal. Untuk menghadapi dampak tersebut, dalam penataan hukum, Indonesia seharusnya memperhatikan cita hukum dan politik hukum nasional serta karakteristik lokal. Selain itu, Indonesia juga hendaknya memperhatikan global trend pada instrument-instrumen internasional, seperti deklarasi, konvensi, code of conduct, dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam menghadapi era globalisasi diantaranya adalah masalah hubungan antara warga Negara dan hukum serta masalah kemampuan hukum dan sistem politik bdalam memenuhi tuntutan rakyat. Oleh karena itu, dalam mengaktualisasikan tujuan masyarakat menuju pembentukan masyarakat madani maka perlu dilakukan perubahan paradigma.

PENYELENGGARAAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA EKSTRAKTIF DAERAH MENUJU GOOD GOVERNANCE


BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Cita-cita luhur bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita luhur ini, maka dirumuskan Visi Indonesia Masa Depan, yaitu Visi Indonesia 2020 yang rumusannya adalah “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara.” Visi ini menjadi pedoman dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.
Dalam perwujudan tata pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah harus mampu menciptakan sistem administrasi publik yang kooperatif dengan pendekatan pelayanan publik yang lebih relevan dengan masyarakat. Kesemuanya sangat penting untuk diimplementasikan demi terciptanya good governance dan clean government atau pemerintahan yang bersih. Namun, dalam kenyataannya saat ini, kegagalan penyelenggaraan pemerintahan terjadi dimana terdapat gagalnya proses interaksi antara berbagai faktor dalam pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri, kegagalan pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan disebabkan oleh perilaku dan tindakan-tindakan aparatur pemerintah sendiri yang cenderung sentralistik, top-down, self-oriented, monopolistik, represif, dan kurang peka terhadap partisipasi masyarakat, tidak demokratis, serta penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme, terlebih di era otonomi daerah saat ini. Hal ini mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan mengarah ke bad governance.
Dalam konsep otonomi daerah, pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan negara. Terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan jawaban atas tuntutan dan desakan desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah. Sebagai daerah otonom, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, menggerakkan partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.[1] Dengan demikian, otonomi daerah mengkonsepkan daerah mempunyai keleluasan untuk mengatur dan mengelola wilayahnya sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah dengan tetap memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Makna dalam frasa ”dikuasai oleh negara” dimaknai sebagai bagian dari fungsi mengatur (regelendaad) dan fungsi negara sebagai pengelola (beheersdaad) sebagai bagian dari tanggung jawab negara.  Pengurusan yang dimaksud adalah kewenangan negara (pemerintah) untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licencie), dan konsesi (concessie).
Upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik dalam laju pertumbuhan ekonomi dalam kerangka otonomi daerah ditempuh melalui profesionalisme pelayanan publik, termasuk di dalamnya penataan di bidang perizinan. Secara umum, hambatan perizinan di Indonesia, khususnya di daerah adalah belum adanya sistem perizinan yang baku, banyaknya instansi yang mengeluarkan izin, tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diadakannya suatu izin hanya didasarkan semata-mata kepada tujuan pemasukan bagi pendapatan pemerintah (terutama pada konsep otonomi daerah).[2] Beragam organ pemerintahan yang berwenang memberikan izin, dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan izin menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran. Sehingga pada konsep otonomi daerah, pemerintah daerah memanfaatkan perizinan sebagai salah satu sumber untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Hal inilah yang mendorong terjadinya penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, diwarnai beberapa masalah, diantaranya kekuasaan pemerintah yang terlalu besar dan sentralistik, korupsi, kolusi, dan nepotisme, terhambatnya saluran aspirasi, dan partisipasi masyarakat, dan berbagai persoalan yang menunjukkan dominasi kekuasaan pemerintah. Untuk mengatasi hal ini, maka perlu adanya perubahan secara menyeluruh terhadap tata pemerintahan yang ada saat ini menuju tata pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

II.                            Permasalahan
Administrasi Negara tidak dapat dilepaskan dari pengaruh birokrasi. Birokrasi dalam sistem administrasi memiliki kelebihan dan kekuarangannya, terlebih di era otonomi daerah saat ini. Pola desentralisasi yang terdapat pada era otonomi daerah menghendaki adanya penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Dengan desentralisasi, diharapkan semakin kecilnya gap antara rakyat dengan pembuat kebijakan, baik secara politik maupun geografis, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat.
Di era otonomi daerah, daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, termasuk di dalamnya mengelola sumber daya alam nasional yang tersedia di wilayahnya. Berdasarkan Pasal 21 huruf (f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, daerah berhak  mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. Oleh karena itu, dengan adanya otonomi daerah, daerah mendapatkan keuntungan dari hasil eksploitasi terhadap suber daya ekstraktif lebih besar dari sebelumnya. Sumber daya ekstraktif yang dimaksud di sini adalah sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi dan gas bumi. Sehingga menimbulkan padangan bahwa kekayaan alam dipandang sebagai sumber untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) setinggi-tingginya demi jalannya roda pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa mempengaruhi birokrasi pemerintahan. Birokrasi pada hakikatnya berfungsi untuk melayani kepentingan publik. Birokrasi sebagai kepanjangan tangan kekuasaan Negara dari pemerintah, seharusnya menjadi representasi dari rakyat. Sehingga dalam melaksanakan tugasnya baik secara langsung maupun tidak langsung mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya pembangunan sistem administrasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif terhadap rakyat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu untuk diketahui lebih jauh mengenai bagaimana penyelenggaraan administrasi Negara dalam pengelolaan sumber daya ekstraktif daerah serta bagaimana cara membangun sistem administrasi Negara di era otonomi daerah yang akuntabel, transparan, dan partisipatif.
BAB II
PEMBAHASAN

Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Ciri dari Negara hukum adalah supremacy of the law atau supremasi hukum. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan administrasi Negara haruslah berdasarkan hukum yang berlaku atau asas legalitas. Menurut Prins dan Scholten, Negara hukum bukan dilihat dari bentuk, tapi isinya. Hal ini berarti:[3]
  1. bagaimana kekuasaan dijalankan
  2. siapa yang mengawasinya
sehingga yang harus diperhatikan oleh Negara hukum adalah hukum administrasinya.
Istilah Administrasi berasal dari bahasa Latin administrare yang dalam bahasa Belanda diartikan sama dengan besturen.[4] Besturen dalam pengertian fungsional berarti fungsi pemerintahan. Pemerintahan merupakan suatu fungsi dari pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai pemerintah. Pengertian pemerintah dalam arti luas adalah pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga, dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan Negara. Sedangkan pengertian Pemerintah dalam arti sempit, mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan. Fungsi pemerintahan yang harus dilaksanakan pemerintah untuk mencapai tujuan Negara adalah urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan adalah menciptakan/ melahirkan, mengubah, serta menghapuskan hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat. Urusan pemerintah ini sangat berhubungan dengan kegiatan public service atau pelayanan publik. Dalam hubungan pemerintahan dengan warga masyarakat, maka terdapat pola hak, kewajiban, memberikan sesuatu, memberikan izin, serta hubungan hukum yang lahir dari suatu status yang diberikan suatu tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
Paham Negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Dalam kaitannya dengan Negara hukum dan demokrasi, kedaulatan rakyat merupakan unsur material Negara hukum, di samping masalah kesejahteraan rakyat. Sebagai Negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum, maka disetiap kegiatan, tidak hanya berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai, melainkan mendasarkan kepada hukum positif sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Pertumbuhan penduduk dalam suatu Negara menuntut pemerintahnya mampu untuk menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hajat hidup rakyat. Terlebih dalam konsep Negara welfare state, terjadi pergeseran dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dari liberal rechstaat menjadi sociale rechstaat. Sehingga Negara dituntut untuk berperan lebih jauh dan campur tangan terhadap aspek kehidupan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan. Oleh karena itu pemerintah harus mampu menciptakan sistem administrasi publik yang koperatif dengan pendekatan pelayanan publik yang lebih relevan dengan masyarakat dalam mewujudkan good governance.
UNDP mendefinisikan Good governance sebagai the execise of political, economic, and administrative authority to manage the nation’s affair at all level.[5] Karakteristik Good Governance menurut UNDP yaitu[6]:
1.            Participation
Setiap warga Negara memiliki hak untuk ikut andil dalam pembuatan keputusan pemerintah, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
2.            Rule of Law
Hukum harus dilaksanakan secara adil dan ditegakkan tanpa pandang bulu, terutama hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
3.            Transparency
Transparansi atau keterbukaan arus informasi publik. Akses informasi tersebut dapat digunakan sebagai monitoring dari masyarakat terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
4.            Responsiveness
Lembaga-lembaga yang ada dalam suatu pemerintahan harus mau dan mampu untuk memberikan pelayanan pada stakeholders. Stakeholders dapat sebagai pihak swasta yang melakukan investasi proyek komersial yang membantu pemerintah di sektor publik dan penyediaan pelayanan umum.
5.            Concensus orientation
Good Governance mejadi perantara dalam perbedaan kepentingan yang ada dengan memberikan pilihan-pilihan terbaik bagi pembawa kepentingan.
6.            Equity
Setiap warga Negara, tanpa membedakan ras, suku, dan gender memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan yang baik serta meningkatkan kesejahteraannya.
7.            Effectiveness and efficiency
Proses-proses dan lembaga-lembaga yang ada disesuaikan dengan sumber-sumber yang tersedia
8.            Accountability
Pembuat keputusan, dalam hal ini pemerintah harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders.
9.            Strategic vision
Pemerintah dan masyarakat harus memiliki perspektif Good Governance dan pengembangan manusia yang uas dan jauh ke depan sesuai dengan apa yang diperlukan dalam pembangunan.
Karakteristik Good Governance menurut World Bank (1993), yaitu masyarakat sipil yang kuat, partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggungjawab, birokrasi yang professional, dan aturan hukum. Bappenas (2003) menyatakan prinsip-prinsip paling utama Good Governance yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Menurut Institute on Governance (1996), sebagaimana dikutip Nisjar (1997), untuk menciptakan good governance, maka perlu diciptakan hal-hal sebagai berikut[7]:
  1. Kerangka kerja tim (team work) antar organisasi, departemen, dan wilayah.
  2. Hubungan kemiteraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat Negara yang bersangkutan
  3. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggungjawab bersama dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan
  4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistis dapat dikembangkan
  5. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi pada masyarakat, mudah dijangkau masyarakat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan dan keadilan dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap professional, dan tidak memihak (non-partisan).

1.                  Penyelenggaraan administrasi Negara dalam pengelolaan sumber daya ekstraktif daerah
Pola otonomi daerah yang digunakan di Indonesia saat ini membawa dampak terhadap kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Dalam pola desentralisasi memberi kewenangan pada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya. Dengan kewenangan ini, bupati memiliki kewenangan melalui peraturan daerah (perda) meregulasikan peraturan yang berdampak pada bertambahnya Pendapatan Daerah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan.
Dana Perimbangan salah satunya diperoleh dari dana bagi hasil sumber daya alam. Sehingga, apabila daerah ingin meningkatkan pendapatan daerahnya, dapat memanfaatkan sumber daya alam, khususnya mineral, batubara, minyak dan gas bumi sebagai sumber daya ekstraktif. Terlebih sifat pengusahaan industri ekstraktif bersifat tertutup, baik dalam hal kontrak, dokumen, izin, maupun besaran pembagain pembayaran dari pengusaha terhadap pemerintah. Bukan rahasia umum bahwa banyak ijin pertambangan di kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah pusat, tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah berapa ijin pertambangan yang sudah dikeluarkan dan wilayah usaha pertambangan yang sudah ditetapkan. Belum lagi berapa pendapatan daerah dan pusat yang diperoleh dari SDA ekstraktif ini. Ini masalah kronis di negeri ini, aturan jelas, pengawas sudah jelas namun dalam pelaksanaanya tidak jelas. Jika ada bencana ekologi akibat eksploitasi tambang yang melampau batas semua mengelak dari tanggungjawab. Implikasi dari hal ini, seluruh rantai pengelolaan sumber daya ini mulai dari pemberian izin hingga pengelolaan dan pembagian keuntungan kepada pemerintah menjadi sangat rentan terhadap praktik-praktik korupsi.
Fenomena globalisasi memberikan dampak pada Negara-negara di dunia yang semakin dapat bebas dalam melakukan kerja sama dalam membangun ekonomi ke arah yang lebih baik dan juga semakin mudahnya negara-negara memperoleh aliran modal dari negara lain. Hal ini membawa dampak, bahan mentah menjadi satu hal penting untuk menjalankan suatu roda perindustrian. Potensi di sektor pertambangan serta perminyakan yang merupakan sumber daya ekstraktif Indonesia memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Kedua sekor ini telah memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam perekonomian Indonesia. Untuk pengelolaan dan pengusahaan sektor ini, sekalipun pengusaha dan investor mengeluhkan iklim investasi yang tidak kondusif, sektor ini tetap menarik minat para pengusaha untuk tetap melakukan usaha di Indonesia. Buktinya, beragam perusahaan raksasa tak lantas pergi dan meninggalkan ladang-ladang minyak di Indonesia. Namun, pada kondisi saat ini tidak jarang dalam pengusahaan dan pemanfaatan sektor pertambangan dan sektor migas, justru membawa konflik dalam masyarakat.
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menentukan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".  Moh. Hatta pada seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 tahun 1977 menyatakan: dikuasai oleh Negara tidak berarti Negara sendiri menjadi penguasa, usahawan, lebih tepat bahwa kekuasaan Negara terdapat pada membuat peraturan guna memperlancar jalan ekonomi, penyertaan modal, dan dalam bentuk perusahaan Negara untuk usaha-usaha tertentu.[8] Lebih lanjut, Pasal 33 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Hak penguasaan Negara diselenggarakan oleh Pemerintah. Karena penguasaan Negara dalam bentuk pengusahaan bahan galian tidak semuanya harus dilakukan oleh Negara, maka penguasaan Negara dalam lingkup pengusahaan dapat diserahkan atau dikuasakan kepada badan hukum/ perseorangan untuk mengusahakannya dengan suatu Kuasa Pertambangan (mining authorization) dan/atau melalui suatu perjanjian/ kontrak kerjasama.[9] Pemerintah, dalam statusnya sebagai pemegang Hak Penguasaan Negara dan pengatur pengusahaan bahan galian sebagai sumber daya ekstraktif, sifatnya adalah atributif.[10] Sehingga apabila didelegasikan atau dimandatkan kepada pihak swasta atau kontraktor, maka kedudukan kontraktor di sini adalah sebagai subordinasi terhadap pemerintah.
Kuasa Pertambangan merupakan izin untuk melakukan usaha pertambangan yang seharusnya menjadi tugas pemerintah. Kuasa Pertambangan mengandung unsur publik karena diberikan atau ditetapkan oleh pemerintah dengan suatu keputusan (beschikking) dan bukan kuasa dengan perjanjian biasa. Kuasa Pertambangan diberikan oleh pemerintah kepada badan hukum/ perseorangan melalui suatu surat keputusan dalam bentuk izin (vergunning) baik berupa konsesi[11] maupun Kuasa Pertambangan.[12] Hakikat Kuasa Pertambangan adalah pemberian wewenang atau izin kepada seorang atau badan hukum untuk melakukan usaha pertambangan. Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Yang dimaksud dengan ketetapan yang bersifat konstitutif adalah ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu.[13]
Sebagai otoritas pemberi izin, pemerintah sering kali mengedepankan aspek ekonomi dibandingkan aspek sosial kemasyarakatan, terlebih di sektor pertambangan. Akibat adanya otonomi daerah, kontrol pusat terhadap pengelolaan sumber daya alam di daerah menjadi mengendur sehingga mendorong munculnya ribuan konsesi tambang. Hal ini mengakibatkan banyak izin pertambangan di kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah pusat, tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah berapa ijin pertambangan yang sudah dikeluarkan dan wilayah usaha pertambangan yang sudah ditetapkan. Belum lagi menimbulkan masalah dalam pembagian pendapatan daerah dan pusat yang diperoleh dari SDA ekstraktif ini. Dampaknya, seluruh rantai pengelolaan sumber daya ini mulai dari pemberian izin hingga pengelolaan dan pembagian keuntungan menjadi sangat rentan terhadap praktik-praktik korupsi. Belum lagi masalah pemberian izin pengelolaan sumber daya alam yang kerap kali merugikan masyarakat di berbagai aspek kehidupan, diantaranya gap kondisi ekonomi antara masyarakat daerah dengan pengusaha, rusaknya lingkungan hidup, kemiskinan, kemerosotan ekonomi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan pemberian izin dapat dilakukan dengan kongkalikong antara pejabat dan pengusaha. Dengan melihat kondisi yang demikian ini, maka perlu dibangun sistem pertanggungjawaban dalam administrasi Negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Sistem pertanggungjawaban perlu dibentuk mengingat izin pemanfaatan sumber daya ekstraktif timbul karena tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang berwenang. Hoffe menjelaskan bahwa pertanggungjawaban memuat nisbah bersegi tiga, yaitu (1) seseorang adalah penyebab atau berwenang; (2) atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya; (3) berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban.[14] Terkait dengan izin eksploitasi sumber daya ekstraktif, pihak yang berwenang adalah pemerintah, perbuatan yang dilakukannya adalah mengeluarkan izin, dan pihak yang dapat menuntut pertanggunggungjawaban adalah rakyat sebagai pemilik sumber daya ekstraktif yang ada. Sehingga dalam hal ini, sistem pertanggungjawaban dapat diterapkan. Untuk itu, diperlukan aturan dan lembaga hukum yang berfungsi untuk mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Selain itu, yang perlu untuk diingat adalah bahwasannya aspek penting dalam otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat.[15] Hal ini akan membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan pemerintah daerah dalam pengelolaan penggunaan sumber daya dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dalam Negara demokratis, partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum sangat diperlukan. Demokrasi berarti bahwa seluruh warga Negara berhak berpartisipasi dalam setiap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi mereka, baik secara kolektif maupun individual.[16] Sehingga demokrasi tersebut merefleksikan adanya kebutuhan mendasar manusia untuk mengekspresikan diri. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan suatu Negara demokratis. Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan.[17]Pertama, sesungguhnya rakyat sendirilah yang paham akan kebutuhannya. Kedua, bermula dari kenyataan bahwa pemerintah modern cenderung makin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh membengkak di luar kendali.
Blau dan Meyer mengatakan bahwa birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administratif dalam skala besar serta mengkoordinasi pekerjaan orang banyak secara sistematis.[18] Dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan Negara, terlebih di Indonesia yang memiliki wilayah yang luas serta penduduk yang sangat banyak jumlahnya, tentu sangat memerlukan birokrasi untuk memperpanjang tangan kekuasaan di dalam melayani kepentingan rakyatnya. Sehingga birokrasi di Negara berkembang seperti Indonesia, dihadapkan dengan tuntutan adanya peningkatan efisiensi, produktivitas, dan peningkatan akses masyarakat terhadap informasi yang ada dalam birokrasi. Pelaksanaan pelayanan publik yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak demokratis tidak dapat lepas dari pengaruh birokrasi yanga ada saat ini. Alhasil, terjadi ketidakpercayaan rakyat terhadap birokrasi pemerintahan saat ini. Hal ini lah yang mendorong lahirnya lembaga-lembaga independen sebagai monitoring dan kontrol terhadap tindakan-tindakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perwujudan sistem pelayanan publik terhadap sumber daya ekstraktif di daerah yang akuntabel, transparan, dan partisipatif dapat diupayakan dengan keikutsertaan Indonesia dalam  Extractive Industry Transparency Initiative (EITI). EITI dapat dipandang sebagai peluang untuk dapat dilaksanakannya transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari Industri Ekstraktif. EITI adalah sebuah standar global untuk pelaporan penerimaan negara yang bersumber dari industri ekstraktif, seperti migas, batubara, dan mineral. Konsep tersebut lahir dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diterima dari Industri Ekstraktif. Pelaksanaan transparansi tersebut dilaksanakan dengan membentuk tim Transparansi Industri Ekstraktif yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dibentuknya tim Transparansi Industri Ekstraktif dirasa merupakan langkah positif dari Pemerintah Indonesia, terlebih dalam kondisi pemerintahan saat ini. Sehingga apabila Indonesia menerapkan ini, maka akan terlihat jelas berapa pendapatan perusahaan dan pemerintah yang diterima dari sektor ekstraktif. Dengan adanya Peppres ini, aliran pendapatan negara dan daerah yang diterima dari setiap perusahaan hulu migas dan pertambangan akan dibuka, direkonsialiasi oleh auditor independen, lalu diumumkan kepada publik secara berkala setiap tahunnya. Adanya auditor independen ini merupakan wujud adanya partisipasi rakyat dalam rangka pengawasan, kontrol, dan monitoring terhadap pelaksanaan pemerintahan. Dengan demikian maka diharapkan akan dapat menyelesaikan sejumlah masalah pertambangan, antara lain masalah tunggakan pembayaran royalti batubara, tunggakan pajak beberapa perusahaan tambang, keberatan pemerintah daerah atas besaran dana bagi hasil, kecurigaan atas pungutan liar dan sogokan yang dilakukan oknum aparat maupun karyawan perusahaan, dan berbagai persoalan lainnya.
2.                Membangun sistem administrasi Negara di era otonomi daerah yang akuntabel, transparan, dan partisipatif
Hampir semua bangsa di dunia menghendaki adanya otonomi, yang pada hakikatnya merupakan hak untuk mengelola urusan daerahnya sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Namun, otonomi dan demokrasi membuka pintu yang lebar untuk terjadinya praktik korupsi. Hal ini bertolak belakang dengan ide dasar demokrasi, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan publik dalam evaluasi terhadap pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut.
Desentralisasi yang ada dalam sistem otonomi diyakini oleh banyak sarjana sebagai sistem pemerintahan yang lebih baik daripada sistem sentralisasi, sebagaimana demokrasi lebih baik daripada tirani. Beberapa alasan diantaranya adalah:[19]
  1. Dari segi politik desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam proses kebijakan, abik untuk kepentingan sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah. Sehingga dalam hal ini ada kesetaraan dan partisipasi politik.
  2. Dari segi manajemen pemerintahan desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik, terutama dalam penyediaan pelayanan publik.
  3. Dari segi kultur, desentralisasi dimaksudkan untuk memperlihatkan kekhususan, keistimewaan, atau kontekstualisasi seuatu daerah.
  4. Dari segi pembangunan, desentralisasi dapat memperlancar proses formulasi dan implementasi program pembangunan dalam rangka kesejahteraan warga.
  5. Dilihat dari kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi dapat menggantikan kelemahannya dalam pengawasan program-program
  6. Dilihat dari segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan antar daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakatnya sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan inovasi dalam meningkatkan kualitas pelayanannya kepada warga.
Guna menghadirkan pemerintahan tidak korup, maka penyelenggaraan pemerintahan di bidang pelayanan publik harus memperhatikan tata kelola pemerintahan yaitu yang baik atau yang lebih dikenal dengan good governance, khususnya terhadap prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat merupakan prinsip yang saling terkai satu sama lain. Meriam Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang diberi mandat itu.[20] Akuntabilitas merupakan segala tindakan yang berwujud check and balances system serta tindakan yang berwujud pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan lembaga pemerintah. Menurut Guys Peters, terdapat tiga tipe akuntabilitas, yaitu[21] (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, (3) akuntabilitas kebijakan publik. Akuntabilitas keuangan merupakan prinsip yang menjamin bahwa setiap penyelenggaraan keuangan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi keuangan tersebut. Akuntabilitas administratif merupakan prinsip yang menjamin bahwa setiap penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada pihak yang berkepentingan secara administratif. Sedangkan akuntabilitas publik merupakan prinsip pertanggungjawaban secara terbuka kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan. Pada intinya, setiap kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh institusi pemerintahan maupun aparat yang ikut serta membuat suatu kebijakan harus memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh masyarakat dan stakeholders yang berkepentingan terhadap kebijakan yang diambilnya.
Transparansi merupakan prinsip yang menjamin adanya kebebasan setiap warga masyarakat untuk memperoleh akses informasi publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, baik mengenai proses, pelaksanaan, maupun pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Namun, transparansi di sini juga harus memperhatikan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Dengan adanya transparansi ini, maka publik dapat memperoleh informasi secara cukup, tepat, dan akurat. Hal ini merupakan suatu bentuk pengawasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahnya. Pengawasan ini penting mengingat tindakan tersebut merupakan sarana untuk menghubungkan target dengan realisasi setiap program/ kegiatan/ proyek yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.[22] Sehingga dengan adanya dengan adanya pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam penyelnggaraan pelayanan publik maka kecurangan dan manipulasi yang menguntungkan beberapa kelompok saja dapat diminimalisasi.
Partisipasi merupakan wujud bahwa seseorang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat pemerintahan yang demokratis, meningkatkan kualitas, dan efektivitas pelayanan publik. Dalam penguatan partisipasi publik, hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah[23]:
1.         Mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik
2.         Menyelenggarakan proses konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders termasuk aktivitas warga Negara dalam kegiatan publik
3.         Mendelegasikan otoritas tertentu kepada pengguna jasa layanan publik seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan bagi kegiatan masyarakat dan layanan publik.
Penciptaan good governance tersebut tentu saja tergantung juga pada para stakeholders yang terlibat di dalam governance itu, yaitu lembaga-lembaga pemerintah, semi pemerintah, non pemerintah, dan swasta. Dalam hal lembaga pemerintahan, perlu diupayakan terbentuknya relasi antar lembaga, yakni antara DPR, birokrasi, polisi, jaksa, dan institusi pengawasan yang bersifat check and balances.[24]
Kuat lemahnya birokrasi tentu terkait dengan peranan kepemimpinan yang kuat dengan dukungan ekonomi yang kuat.[25] Semakin kuat kepemimpinan semakin kuat juga birokrasi yang mendukung kepemimpinan itu. Menurut Jefferson bahwa administrasi Negara memberi kesempatan yang luas untuk adanya partisipasi, desentralisasi yang efektif, dan pengurangan tekanan pada simplicity and economic of administration action demi efisiensi. Sehingga menurut pemikiran ini, birokrasi harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan masyarakat harus berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, perlu adanya penyederhanaan dan pengurangan efisiensi proses yang dipandang mengusung kepentingan penguasa. Oleh karena itu, birokrasi yang mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, dan memberikan kepuasan pada publik harus segera dihadirkan agar tidak terjadi krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Reformasi administrasi dihadirkan untuk mengurangi tingkat ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Menurut teori meminimalkan peran yang diterapkan oleh Presiden Reagen di Amerika, minimalisasi peran pemerintah dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: mengurangi ekspektasi masyarakat terhadap pemerintah, menjadikan tatanan publik menjadi lebih ramping dan responsif, dan fokus pada beberapa tujuan dan menolak pengaruh/ kekuasaan alamiah.[26] Oleh karena itu, pemerintahan yang efektif dan efisien harus segera dilakukan, terlebih dalam konsep otonomi daerah yang diguanakan oleh Indonesia saat ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.         Penyelenggaraan administrasi Negara dalam pengelolaan sumber daya ekstraktif daerah
Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Pemerintah sebagai otoritas pemberi izin sering kali mengedepankan aspek ekonomi dibandingkan aspek sosial kemasyarakatan, terlebih di sektor pertambangan. Pada konsep otonomi daerah, pemerintah daerah memanfaatkan perizinan sebagai salah satu sumber untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Hal ini mengakibatkan banyak izin pertambangan di kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah pusat, tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah berapa ijin pertambangan yang sudah dikeluarkan dan wilayah usaha pertambangan yang sudah ditetapkan. Belum lagi menimbulkan masalah dalam pembagian pendapatan daerah dan pusat yang diperoleh dari SDA ekstraktif ini. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah mengupayakan adanya monitoring dan kontrol dari masyarakat yang bersifat independen.
Perwujudan sistem pelayanan publik terhadap sumber daya ekstraktif di daerah yang akuntabel, transparan, dan partisipatif diupayakan dengan keikutsertaan Indonesia dalam  Extractive Industry Transparency Initiative (EITI). Tindak lanjut dari itu adalah dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010. Perpres ini menghendaki aliran pendapatan negara dan daerah yang diterima dari setiap perusahaan hulu migas dan pertambangan dibuka, direkonsialiasi oleh auditor independen, lalu diumumkan kepada publik secara berkala setiap tahunnya Selain itu, diterapkan juga sistem pertanggungjawaban terhadap pemerintah sebagai otoritas pemberi izin yang menyalahgunakan kewenangannya.
2.       Membangun sistem administrasi Negara di era otonomi daerah yang akuntabel, transparan, dan partisipatif.
Hampir semua bangsa di dunia menghendaki adanya otonomi, yang pada hakikatnya merupakan hak untuk mengelola urusan daerahnya sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Namun, otonomi dan demokrasi membuka pintu yang lebar untuk terjadinya praktik korupsi. Negara berkembang seperti Indonesia, dihadapkan dengan tuntutan adanya peningkatan efisiensi, produktivitas, dan peningkatan akses masyarakat terhadap informasi yang ada dalam birokrasi. Guna menghadirkan pemerintahan tidak korup, maka penyelenggaraan pemerintahan di bidang pelayanan publik harus memperhatikan tata kelola pemerintahan yaitu yang baik atau yang lebih dikenal dengan good governance. Agar mampu menghadirkan tata pemerintahan yang baik, maka perlu dibangun sistem administrasi birokrasi yang mengedepankan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Saran:
1.         Perlu adanya peningkatan fungsi kontrol terhadap layanan birokrasi pemerintah, yaitu meliputi internal kontrol maupun eksternal kontrol secara benar dan konsisten terhadap perizinan dalam pemanfaatan sumber daya ekstraktif di daerah. Kontrol perlu dilakukan agar sumber daya ekstraktif yang ada benar-benar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu perlu adanya perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang merugikan bagi dirinya, yaitu dengan pembebanan pertanggungjwaban baik secara pribadi maupun renteng terhadap pemerintah yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
2.         Perwujudan good governance diwujudkan dengan penyelenggaraan administrasi Negara yang transparan, akuntabel, dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dengan perbaikan terhadap susunan tata kerja layanan birokrasi yang transparan, akuntabel, serta memberikan peluang pada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Hal ini dilakukan agar kebijakan yang diambil bebas dari kecurigaan dan benar-benar merupakan hal yang dibutuhkan masyarakat. Di samping itu perlu dipikirkan adanya layanan satu atap (one stop service) sehingga layanan birokrasi dapat berjalan dengan efektif dan efisien.



[1] Periksa Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, (Bandung: Nuansa: 2009), halaman 12.
[2] Ibid, halaman 14-15.
[3] Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia: 2004), halaman 36.
[4] Ibid,  halaman 22.
[5] Periksa Riant Nugroho D, Analisis Kebijakan Publik, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo: 2007), halaman 123.
[6] Ibid, halaman 124-126.
[7] Periksa Pandji Santosa, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, (Bandung: Refika Aditama: 2008), halaman 132.
[8] Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti: 1996), halaman 70.
[9] Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yokyakarta: UII Press: 2004), halaman 3.
[10] Periksa Anas Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga, (Malang: Institute for Strengthening Transition Society Studies (In-TRANS), 2007), halaman 112.
[11]Konsesi (concessie) pertambangan adalah izin atau wewenang yang diberikan oleh pemerintah kepada badan hukum atau perorangan untuk melakukan usaha pertambangan berdasarkan asas domaniak beginsel (domein/ milik Negara) dengan disertai kewenangan dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain yang bersifat campuran antara publik dan privat.
[12] Salim H.S, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada: 2005), halaman 263.
[13] Adrian Sutedi (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika:2010), halaman 261.
[14] F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, (Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI): 2001), halaman 87.
[15] Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Op cit, halaman 13.
[16] Agus Dwiyanto, Governance Reform di Indonesia Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional, (Yogyakarta: Gava Media: 2009), halaman 44.
[17] Adrian Sutedi (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), Implikasi Hukum atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika: 2009),halaman 401.
[18] F.X. Adji Samekto, dkk, Op Cit, halaman 38.
[19]Periksa Samodra Wibawa, Reformasi administrasi Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik, (Yogyakarta: Gava Media: 2004), halaman 358.
[20] Adrian Sutedi II ,Op Cit, halaman 397.
[21] Loc Cit
[22] Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Grasindo: 2009), halaman 130.
[23] Adrian Sutedi II,Op Cit, halaman 402.
[24] Agus Dwiyanto, Op Cit, halaman 360.
[25] Ibid, halaman 337.
[26] Ibid, halaman 313.